kebetulan saya baca artikel , ada kisah dengan Judul “Pelacur dan Orang Gila” , lumayan menarik , saya copy ini dari sabdaspace.org . Silahkan simak.
Â
Seseorang tiba-tiba saja mendekatiku. Tanpa basa-basi dia bertanya, “Kamu minta berapa?”
     “Tujuh puluh!” kataku singkat. Saat itu aku tengah ngobrol dengan temanku, sesama PSK. Lelaki itu lalu menggamit tanganku agak menjauh. Tanyanya lagi, “Kalau ‘long’?”
     “Nginap maksud Bapak?” Dia mengangguk. Aku menatapnya. Sudah cukup tua… setidaknya usianya di atas 50 tahun, Sebagian rambutnya sudah tidak lagi hitam. Tapi dia cakep juga. Setidaknya gayanya seperti anak muda. Celananya jeans, dan dia pakai jaket.
     “Berapa?” tanyanya lagi.
     “Lima ratus!” jawabku singkat. Terus terang aku belum pernah diajak menginap oleh pelangganku. Aku juga belum lama jadi PSK, baru dua bulan, belum lulus trainning kata temanku sesama PSK. Jadi aku ngawur saja, asal saja menjawab.
     Dia mengangguk-angguk. Aku tidak tahu apakah dia serius atau sekedar iseng biar dikira banyak uang. Tapi kalimatnya kemudian benar-benar membuat aku terkejut, “Oke! Aku booking kamu seminggu!”
     Hah?! Mulutku sampai terbuka tanpa sadar. Orang ini gila, atau dia seorang perampok atau teroris, atau seorang buronan polisi yang sedang butuh teman buat sembunyi?
     Tiba-tiba saja aku merasa takut.
     “Aku tidak bisa!” kataku begitu saja.
     “Kenapa?” terasa emosinya, tanganku sampai ikut tertarik.
      “Itu berarti tujuh hari, bukan tujuh malam!” Aku heran, kenapa jawaban itu yang keluar dari mulutku.
      “Jadi berapa?” dia mendesak.
      “Satu juta sehari!” mulut PSKku telanjur bicara, tak bisa lagi kucegah.
      “Oke! Aku booking kamu seminggu, tujuh hari tujuh malam!”
     “Oke! Tapi aku punya syarat!”
      “Apa?”
      “Tidak dimulai dengan malam ini, tidak membawaku ke tempat yang sunyi, dan beri aku 50% di depan!”
      “Oke! Kita ketemu dua hari lagi di tempat ini, pagi jam 10, uang yang kamu minta akan aku berikan saat berangkat! Tapi pada hari H aku mau kamu bersih dan tidak mengantuk! Oke?”
      “Oke! Deal!” kataku sambil menjabat tangannya.
     “Sampai ketemu lusa!”
      Dia pergi, begitu saja.
******
     Temanku tertawa terbahak-bahak setelah dia pergi.
      “Kok kamu mau meladeni orang gila itu?”
      “Orang gila?”
     “Ya. Jelas! Kecuali dia seorang sex maniak atau seorang psikopat! Pernah dengar PSK dibunuh dan dimutilasi?”
      Aku diam saja.
      “Kita ini pelacur jalanan, tarip kita lima puluhan. Kalau tidak gila apa? Masak dia mau sejuta sehari? Paling-paling dia juga cuma omong kosong saja. Bohong saja. Sekedar ngerjain kita. Seminggu lagi! Bah! Jangan-jangan aku tidak akan pernah ketemu kamu lagi!”
       “Apanya yang salah?”
       “Apanya yang salah? Huh! Dasar bocah! Pakai otakmu! Mereka yang kesini ini semua cuma seperti orang yang mau buang hajat ke sungai. Buka celana, mengejan sebentar, selesai. Buat apa seminggu. Ngapain aja?
       “Lagi pula kau sendiri kan tahu; setelah apa yang mereka lakukan pada kita; mereka akan tergesa-gesa pergi dengan pandangan yang begitu jijik terhadap kita. Seolah kita ini sampah, hasil jongkok mereka di tepi sungai, yang terapung dan hanyut dibawa air sungai.
     “Siapa yang mau berlama-lama lekat dengan kotoran?”
      Aku diam. Memang setiap pekerjaan butuh pengalaman dan pengetahuan, bahkan untuk pekerjaanku — kalau itu boleh disebut pekerjaan. Terus terang aku bimbang. Ada perasaan sukaku pada lelaki itu. Entah apa, tapi aku merasa dia tidak akan menyakitiku.
******
     Dan aku lebih suka mengikuti perasaanku.
*******
     Hari H. Jam sepuluh kurang sepuluh aku sampai. Ternyata lelaki itu sudah menungguku. Dia membawaku naik taksi.
     “Kalau boleh tahu, kita akan kemana?”
      “Bandara!”
      “Bandara?”
      “Ya! Adisucipto!”
      “Memangnya kita mau kemana?”
      “Medan!”
      “Medan?”
      “Ya!”
      “Sejauh itu?”
      “Ya!”
     “Bapak tidak sedang bercanda, kan?”
      “Tidak!”
      Aku terdiam. Seribu satu perasaan bergejolak dalam diriku. Aku belum pernah bepergian sejauh itu. Bahkan aku belum pernah naik pesawat terbang.
*******
     Perjalanan yang cukup melelahkan dan… mendebarkan. Menunggu jam keberangkatan pesawat; transit di Jakarta; menunggu lagi… sampai akhirnya mendarat di Polonia, Medan.
      Di atas kota Medan pesawat sempat berputar-putar sebelum mendarat. Kabut asap dari kebakaran hutan penyebabnya. Saat itu aku sempat menyentuh tangannya.
     “Pak, tidak takut jatuh?”
      Lelaki itu memandang keluar jendela. Hanya asap putih yang tampak. Dia memegang tanganku.
      “Apa menurut pendapatmu aku belum jatuh?”
     Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Menurutku dia aneh. Mungkin benar apa yang dikatakan temanku : dia gila!
******
     Aku belum pernah tidur di hotel berbintang. Tapi dia, lelaki itu, membawaku kesana. Kamarnya di lantai lima. Kunci kamarnya berupa kartu, yang setelah dipakai untuk membuka pintu, dimasukkan ke kotak di balik pintu, dan secara otomatis menghidupkan lampu dan AC kamar. Aku takjub, tapi diam-diam. Takut dia tahu.
     Aku menyumpahi diriku sendiri sebab pakai lift saja aku takut; kini aku berada di lingkungan yang begitu asing. Bath tup untuk berendam, kloset duduk, shower dengan air panas & dingin, TV Kabel, Video, Kulkas dengan isinya, lampu tidur dengan dimmer, telpon, daftar makanan yang bisa dipesan… karpet di seluruh kamar….
     Sebenarnya aku lelah, tapi rasa ingin tahuku memaksa aku memeriksa setiap sudut kamar. Lelaki itu tidak peduli dengan ulahku, dia tampak terkantuk-kantuk memejamkan mata di pembaringan.
     Pintu di ujung kamar membawaku ke teras. Ada meja kursi di situ. Jauh di bawah tampak kolam renang dengan airnya yang biru dan taman di sekelilingnya. Kabut tipis asap kebakaran hutan masih saja ada di antaranya. Aku kembali masuk ke dalam.
     Di depan meja rias aku duduk. Kupandangi wajahku di depan cermin. Masih cantikkah aku? Lewat cermin juga kulihat dia, lelaki itu, tertidur pulas. Kubayangkan diriku sebagai partner seorang agen rahasia terkenal dalam sebuah film yang pernah kutonton di TV. Dan aku tersenyum sendiri.
     Lama kunikmati keberadaanku di depan cermin sebelum akhirnya kuputuskan untuk mandi.
     Entah berapa lama aku mandi, karena ternyata tadi aku sempat tertidur di bak mandi itu. Aku keluar kamar mandi dengan berbalut handuk. Dan lelaki itu terbangun.
     “Sudah mandi?”
      “Sudah!”
      “Tidak tidur?”
      “Sudah!” Jawaban pendek; gaya lelaki itu!  Aku sudah tertular!
      “Dimana bajumu?”
      “Kugantung di kamar mandi!”
     “Maaf, aku lupa katakan ini padamu; aku tidak ingin lihat kau berpakaian tidak sopan di hadapanku…!”
     “Apa?”
     “Kembali ke kamar mandi!”
      Aku bengong. Sepanjang hari ini banyak hal yang bikin aku serasa di negeri dongeng. Terbang, tidur di air, dan ketemu lelaki aneh ini. Aku kembali ke kamar mandi dan berpakaian.
     Aku duduk di dekatnya.
      “Bapak aneh!” Aku tak bisa menyimpan perasaanku.
      Dia tersenyum.
      “Maafkan aku, sayang” katanya sembari membelai rambutku. “Aku tidak ingin kau melayaniku di atas tempat tidur; aku cuma butuh teman. Kau masih terlalu muda. Dan aku belum pernah melakukannya selain dengan istriku.”
     Wajahnya tampak sedih. Aku memandangnya dan mencium pipinya. “Kenapa Bapak tidak ajak istri Bapak saja?”
      “Dia pergi…! Sudah terlalu lama. Sudahlah… aku tidak ingin memikirkannya lagi.”
       “Mungkin karena Bapak jahat padanya….”
       “Entahlah! Tapi kau begitu mirip dengannya!”
       “Benar?”
       “Ya!”
      “Jadi karena aku mirip dengan istri Bapak; Bapak juga jahat padaku?”
      “Apa?”
       “Bapak belum memberi uang muka!”
      “Oya, kenapa kau tidak memintanya?”
       “Aku lupa!”
      “Aku apa lagi!”
      Dan kami tertawa bersama.
******
     Duniaku adalah dunia abnormal. Dunia yang sepenuhnya tak kumengerti. Kejahatan ada di sekelilingku, bahkan nyawaku sendiri sewaktu-waktu dalam ancaman. Kini aku bertemu orang aneh pula; masihkah itu aneh bagiku? Dan jika aku menikmati kebersamaan ini, anehkah aku? Aku mengikuti perasaanku saja. Aku selalu mengikuti perasaanku. Dan kini aku merasa nyaman bersamanya. Rasanya aku menemukan apa yang selama ini tidak pernah kudapatkan: kasih sayang seorang bapak. Ya, aku rindu untuk dibelai dan dicium bapak. Aku tidak pernah punya bapak. Aku merebahkan kepalaku di dadanya, dan aku menangis.
     Air mataku meleleh turun. Aku terisak. Dan dia kaget.
     “Apakah aku sudah jahat padamu?”
      Aku memeluknya erat-erat. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Air mataku tumpah.
      “Sudahlah! Aku mau mandi. Kita nanti makannya turun saja. Sekalian ambil uang di ATM!”
     Aku sudah tidak peduli dengan uang yang dijanjikannya. Tapi aku membiarkannya pergi ke kamar mandi.
******
     Malam telah jatuh ketika kami turun. Masakannya enak. Ada live music. Kami duduk berhadapan. Lama dia memperhatikan aku makan.
    “Jangan pandangi aku terus!” kataku.
     “Kenapa tadi kau menangis?”
     “Nanti di kamar aku cerita, sekarang aku mau makan!”
    “Baiklah…!” Lalu dia mulai makan. Tapi matanya masih juga memperhatikanku. Mungkin dia heran oleh selera makanku.
    “Boleh aku tahu namamu?”
     “Hem…, boleh! Di jalan namaku Srie! Srie Klaten!” kataku dengan mulut penuh makanan. Entah jelas atau tidak kedengaran di telinganya. Dia mengangguk-angguk.
     Sejurus kemudian, setelah aku selesai makan dan mencuci tanganku di washtafel, aku menghampirinya dan mengulurkan tanganku.
     “Namaku yang sebenarnya Endah Susilowati!”
     “Gideon!” Dia menyebutkan nama itu.
******
     Setelah makan dan ambil uang di ATM kami segera naik, kembali ke kamar.
      “Kau bisa gunakan dulu uang itu untuk beli pakaian dan belanja, besok aku ganti! Aku ada acara besok, jadi kau bisa jalan-jalan sendiri. Maaf aku tidak bisa mengajakmu karena ini urusan bisnis. Tidak jauh dari sini ada Mal, kau bisa kesana. Tapi satu pesanku, aku sudah beri kau cukup uang, jangan sekali-kali melayani keisengan orang disini!”
     Aku tertawa. “Iya, Bapakku yang baik hati! Bukankah kebebasanku seminggu ini sudah Bapak beli? Lagipula aku memang butuh beli pakaian, aku berangkat cuma bawa dua stel… karena aku pikir aku tidak akan terlalu membutuhkannya. Ternyata….”
     “Sekarang katakan padaku; kenapa kau menangis?”
     Aku diam saja. Dia membelai-belai rambutku. Dan lagi-lagi aku merebahkan kepalaku di dadanya. Aku selalu mengikuti perasaanku. Aku tak suka berpikir panjang. Aku tak suka logika awam: Bahwa semua laki-laki yang mengajak tidur perempuan lacur adalah laki-laki bejat; sekalipun dia tidak menidurinya. Bagiku asal perasaanku nyaman aku akan menjalaninya. Apalagi aku merasa sudah tak punya apa-apa lagi, tak ada yang perlu kupertahankan. Bahkan nyawaku sekalipun.
     “Apakah aku menyakitimu?”
     Aku menggeleng.
     “Aku ingin punya bapak! Aku ingin merasakan bagaimana rasanya punya bapak!”
     “Memangnya bapakmu dimana?”
      “Kata Ibu bapakku meninggal ketika aku masih dalam kandungan.”
      “Kau mau jadi anakku?”
      “Bapak mau punya anak seorang pelacur?”
      “Ibumu tahu kau melacur?”
      Aku menggeleng.
     “Ibumu pasti cantik…!”
      Aku diam saja.
     “Kau tak ingin berhenti? Kasihan Ibumu!”
     Pertanyaan klasik! Aku tidak ingin menjawabnya. Itu pertanyaan yang selalu muncul di kepalaku berulang-ulang. Pertanyaan dari diriku sendiri.
******
     Aku membuka dompetku. Disitu ada foto Ibu. Aku memang sudah mengecewakannya. Aku sudah bohongi Ibu berkali-kali. Sedang apa ia sekarang? Tidakkah ia sedang berdoa untukku?
       “Foto siapa?”
       “Ibu!”
        “Ini foto Ibumu?”
        “Ya!”
        “Jadi… kau anaknya Bu Sagiman?”
       Aku tercekat. Jantungku berdebar begitu keras.
       “Bapak kenal Ibu?”
        Lelaki itu diam.
       “Pak…!” Aku memandangnya dengan heran, bingung dan penuh rasa takut. Lelaki itu memelukku.
       Sejenak lelaki itu melepaskan pelukannya. Dia memandangiku.
        “Bapak kenal Ibu?”
       “Ya!” Lelaki itu mengangguk. “Aku pernah kost di rumah Eyangmu di Sukabumi!”
        Terus terang aku bingung. Deg degan dan takut.
        “Sekarang kalian tinggal dimana?”
       “Klaten!”
       “Bilang Ibumu; aku ingin ketemu!”
       Bilang Ibu? Gila apa? Sekalipun lelaki ini pernah kost di rumah Eyang, tapi apa hubungannya dengan Ibu? Kalau sampai lelaki ini cerita ke Ibu tentang apa yang kulakukan selama ini… apa jadinya? Tidak! Aku tidak akan bilang Ibu>
        “Tanya juga ke Ibumu kenapa ia bohong?”
        “Bohong?”
        “Ya! Bapakmu masih hidup!”
        “Bapak masih hidup?”
       “Ya! Bapakmu masih hidup. Dan sudah lama mencari-cari kalian berdua!”
        “Dimana dia sekarang? Apakah bapak sehat?”
       “Bapakmu sehat. Berikan alamatmu, biar bapakmu bisa menemuimu dan Ibumu.”
        “Tapi…?” Aku bingung.
         “Jangan kuatir! Rahasia kita berdua akan tetap menjadi rahasia kita berdua! Aku janji!” Dia mengangkat tangannya.
        Aku menuliskan alamatku.
******
        Hari masih pagi ketika aku terjaga. Lelaki itu sudah rapi. Dia tampak memperhatikanku.
        “Cepat mandi! Kita pulang!”
       “Hah….?!”
       “Jangan kuatir! Uangmu utuh untuk tujuh hari!”
       “Maksudku…. ah, aku cuma kaget saja. Kenapa mendadak mau pulang; sedangkan kita baru semalam disini. Tempat yang begitu jauh….”
         “Ada yang lebih penting di Jogja!”
        “Bapak tidak jadi urus bisnis Bapak di sini?”
         “Tidak!”
        “Jadi aku tidak jadi jalan-jalan?”
        “Nanti kuberi tambahan uang untuk jalan-jalan!”
        Aku terdiam. Aku suka mengikuti perasaanku. Tapi laki-laki ini, membuat aku bingung dengan perasaanku sendiri.
******
        Seperti sudah kuduga; Ibu kaget dengan kepulanganku.
         “Lho! Katanya seminggu; kok sudah pulang?”
        “Acaranya dibatalkan!”
        “Kok bisa? Perusahaan besar kok bisa seperti itu?”
         “Ya, tidak tahulah, Bu! Katanya mendadak akan ada audit dari pusat, jadi aku disuruh pulang dulu!”
         “Terus?”
         “Ya, tunggu saja!”
         “Tapi kau sudah sampai Surabaya?”
        “Ya sudah, Bu! Di hotel semalam, langsung besoknya pulang!”
        “Ibu hanya bisa berdoa. Terus terang Ibu kuatir. Perempuan pergi jauh, sendirian lagi! Kalau saja Bapakmu masih ada….”
         “Tadi di kereta aku duduk dekat seorang lelaki setengah tua, katanya kenal bapak. Katanya bapak masih hidup….!”
          “Ah, siapa bilang… bohong itu!’
         “Benar kok, Bu! Katanya dia pernah kost di rumah Eyang!”
          “Nah! Ketahuan kan bohongnya! Kamu percaya? Eyangmu itu tidak pernah terima kost! Rumahnya saja kecil; bagaimana mau terima kost? Hati-hati kalau dekat dengan orang yang tidak kamu kenal. Satu-satunya orang yang pernah kost di rumah Eyangmu itu, ya bapakmu itu… Kost gratis…! Ha… ha… ha…!”
          Ibu tertawa. Tapi aku mengeryitkan keningku.
         “Bu… siapa nama baptis bapak?”
         “Gideon! Memangnya kenapa?”
         Rasanya hantaman yang begitu keras memukul dadaku. Aku memegang kepalaku. Tubuhku gemetar.
         “Endah! Kau kenapa?”
         “Tidak apa-apa kok, Bu. Aku pusing. Aku mau tidur!”